Krui berada di pesisir Barat provinsi Lampung, pada zaman penjajahan Krui merupakan salah satu daerah Afdeeling dibawah resident Bengkulu.
Dari zaman dahulu Krui sudah mempunyai pelabuhan yang ramai, banyak kapal – kapal besar dari berbagai daerah datang ke pelabuhan itu. Pelabuhan itu berada di muara
Way Krui di pekon Pedada – Penggawa Lima.
Krui disebut dalam Peta pelayaran nusantara pada 1411 M bahwa di Pulau Sumatera hanya terdapat beberapa kota pelabuhan antara lain : kota pelabuhan Pasee (NAD), Andripura (Indrapura, Riau), Manincabo (Padang, Sumbar), Lu-Shiangshe (Provinsi Bengkulu), Krui, Liamphon (Lamphong atau Lampung), Luzupara (Kemungkinan daerah Tulang Bawang atau Manggala), Lamby (Jambi), dan nama negeri Crïviyäyâ terletak di Musi Selebar. (dikutip dari : “Bengkulu dalam sejarah Maritim Indonesia”)
BERDIRINYA KERAJAAN PENGGAWA LIMA
Kerajaan Penggawa Lima adalah cikal bakal berdirinya daerah Krui, mereka adalah kaum perintis yang pertama kali membuka penghidupan di Krui, walaupun pada saat ini masyarakat Krui sendiri sangat majemuk dan beragam berasal dari berbagai daerah.
Menurut cerita dari nenek moyang yang dituturkan secara turun temurun, penulis mencoba menyusun cerita-cerita yang masih tersebar didalam masyarakat dan merangkainya menjadi tulisan.
Seperti kebanyakan penduduk di daerah Lampung lainnya, nenek moyang orang Krui sebagian besar juga datang dari Skala Brak, tetapi untuk keluarga kerajaan Penggawa Lima nenek moyang mereka berasal dari Banten.
Lampung pada masa lampau merupakan rumah kedua bagi kesultanan Banten, hal ini seperti disebutkan dalam Piagam Bojong, bahwa pada tahun 1500 – 1800 M, Lampung dikuasai oleh Kesultanan Banten.
Tersebutlah kisah LUMIA RALANG, seorang ksatria yang gagah perkasa, dari Pantau Kota Besi, sebenarnya nenek moyang Lumea Ralang berasal dari salah satu keluarga kerajaan Banten yaitu PANGERAN TANAH JAYA (masih keturunan dari Pangeran Jaya Lelana) yang mencari tanah untuk penghidupan yang lebih baik.
Mereka berlayar dari Banten dan terdampar di Manna, Bengkulu, setelah beberapa lama tinggal di Manna mereka meneruskan perjalanan dan sampai di Semende Makekau dan mereka juga menetap, membuka lahan pertanian dan perkebunan disana. Dari Semende Makekau mereka pindah lagi ke Rantau Nipis, Ranau dan mendirikan kerajaan kecil disana, tetapi karena kehidupan di Ranau belum berpihak kepada mereka mereka pun pindah lagi ke Salipas, Sukau. Setelah sekian lama menetap di Salipas, Sukau, Raja Sukau meminta mereka agar tunduk dibawah kekuasaan Raja Sukau. Akhirnya mereka pindah lagi ke Pantau - Kota Besi, disini mereka hidup rukun, berdampingan dan berakulturasi dengan masyarakat Skala Brak.
Tidak lama kemudian Pantau Kota Besi pun akan dipengaruhi oleh Raja Belalau yang mendapat pengaruh kuat dari kerajaan Pagaruyung.
Karena hal itu Lumea Ralang yang pada saat itu akan mewarisi kerajaan Ayah, berniat
mencari tanah baru untuk memindahkan kerajaan kecilnya.
Suatu ketika, berangkatlah Lumia Ralang dan pasukannya mencari tanah baru, bersama dengan saudara-saudaranya yang masih ada hubungan darah dengan beberapa Rajadari kepaksian Paksi Pak Sekala Brak antara lain :
1. Raja Panglima dari Senangkal , Banding
2. Raja Nurkadim dan Raja Belang dari Way Tegaga
3. Raja Penyukang Alam dari Kageringan
4. Raja Nungkah Nungkeh Degom Pemasok rulah dari Teratas.
Mereka berjalan masuk hutan dan menyusuri hulu sungai (way) Laay, sesampainya mereka di muara way Laay, mereka sangat terkejut mendengar suara gemuruh, setelah diperiksa ternyata mereka melihat danau yang sangat besar dengan airnya yang bergulung-gulung ke darat dan rasanya asin. Sepanjang hari mereka mengamati air laut itu.
Kemudian mereka berjalan ke selatan salah satu anak way krui yaitu way sakera dan mereka menemukan banyak sekali kera-kera. Mereka memanggil-manggil kera dengan teriakan kera ui.. kera ui, kera ui…, kera ui. Ditempat itulah mereka untuk sementara mendirikan gubuk-gubuk, dan mereka menyebutnya tempat kera ui, akhirnya sungai yang besar disitu mereka sebut dengan way Krui (dari sinilah kata krui berasal.)
Mereka memeriksa sekeliling untuk memastikan bahwa tidak ada kerajaan lain yang berkuasa, mereka berjalan kearah utara sampai pada Muara Tanda Batas Bintuhan, dan kearah selatan sampai Way Meluang, batas Semangka.
Sepanjang daerah tersebut mereka tidak menemukan seorangpun apalagi kerajaan.
Mereka juga berjalan ke timur masuk ke dalam hutan, didalam hutan mereka bertemu dengan suku tumi (suku kubu / suku anak dalam), dan suku tumi itu lari masuk ke Hutan.
Ternyata pada malam hari nya suku tumi itu datang merampas persediaan makan mereka, akhirnya terjadilah perang diantara keduanya. Sampai akhirnya suku tumi berhasil dikalahkan dan sebagian lari masuk ke dalam hutan dan tidak pernah kembali lagi.
Setelah menyusuri semua pejuru daerah baru tersebut mereka memutuskan bahwa sepanjang daerah pesisir dari Muara tanda batas Bintuhan sampai way Meluang, batas Semangka, itulah tanah bakal tempat anak cucu mereka bercocok tanam dan berkebun.
Tetapi tanah yang baik untuk tempat tinggal dan tempat mendirikan kerajaan adalah dari Way Mahenai sampai Way Hanuwan.
Akhirnya mereka mendirikan kerajaan yang diberi nama PENGGAWA LIMA, karena didirikan oleh lima orang punggawa. Hal ini juga seperti diceritakan dalam sejarah Sumatera berikut :
William Marsden, The History of Sumatera, chapter 16 page 236 GOVERNMENT. The titles of government are pangeran (from the Javans), kariyer, and kiddimong or nebihi; the latter nearly answering to dupati among the Rejangs. The district of Kroi, near Mount Pugong, is governed by five magistrates called Panggau-limo,….
Masing –masing punggawa menempat setiap pejuru tanah penggawa yaitu :
1. Raja Penyukang Alam ditempatkan di Cukuh Mersa (Bandar)
2. Raja Panglima ditempatkan di Pekon Teba (Perpasan)
3. Raja Nurkadim ditempatkan di Pematang Gedung (Pekon Balak – Laay)
4. Raja Belang ditempatkan di Pematang Gedung (Pekon Laay).
5. Raja Nungkah Nungkeh Dego Pemasok Rulah ditempatkan di Pagar Dewa (Bah Binjai).
Sedangkan Lumea Ralang sendiri mendirikan Istana nya diatas Pantau (Penggawa Lima Ilir) dan kemudian digantikan oleh anaknya : Raja Alam Tegak Buwok.
Sumber :
Datuk Haspian Kadir Gelar Radin Dawan, 1952, Tambo Penggawa Lima
Sejarah Banten Bengkulu dalam sejarah Maritim Indonesia
Marsden William, History of Sumatera
Tidak ada komentar:
Posting Komentar